Muhamad Abi Fadila, lahir di Tangerang 23 Juni 2000. Tinggal di Jakarta Pusat. Alumnus pendidikan sejarah FKIP Uhamka. Keseharian bekerja sebagai guru sejarah di SMA PGRI 1 Jakarta. Sedang melanjutkan studi S2 di Pendidikan IPS Pascasarjana Undiksha. Aktif dalam kegiatan Karang Taruna di wilayah tempat tinggal, terutama fokus terhadap budaya literasi yang menyediakan buku-buku bacaan di wilayah Bungur dan pengurus majelis di Ngaji Kontemporer. Pembaca dapat berinteraksi dengan pemuisi melalui Instagram: abi_fadila.

Kakek Seorang Pejuang

Kamis, 15 Mei 2025 07:58 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Laki-laki di Tengah Malam
Iklan

Cerita pendek yang terinspirasi dari tokoh sejarah. Cerita ini menggambarkan perspektif imajiner dari tokoh sejarah Kusni Kasdut.

Aku mengerti, mengapa ibu melarangku membicarakan tentang Kakek. Mungkin karena gelar kriminal di akhir hayatnya. Waktuku kecil ayah pernah bercerita kalau Kakek dulu seorang pejuang kemerdekaan. Seorang yang pernah berjasa untuk negaranya. Jadi di ingatanku, Kakek adalah seorang pahlawan.

Namun seluruh cerita tentang Kakekku baru kuketahui sekarang ini. Hal itu setidaknya menjawab rasa penasaranku di masa kecil. Aku jadi tahu alasan mengapa Kakekku yang seorang pejuang kemerdekaan tidak mendapat kehormatan sebagai pahlawan. Namanya tidak diabadikan sebagai nama jalan. Sama sekali tidak disebut dalam sejarah. Dan perjuangannya pun tidak ditulis di buku-buku sejarah sekolah. Lebih parah lagi, Kakek hanya dikenang sebagai salah seorang perampok legendaris.

Seolah-olah selama jadi pejuang Kakek tidak punya jasa buat negerinya ini. Sementara orang itu, seseorang yang telah berkuasa selama tiga puluh dua tahun lamanya dengan menakut-nakuti warganya. Bahkan menggunakan alat negara untuk menculik dan membunuh orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Orang itu direncanakan akan diberi gelar pahlawan nasional. Apakah orang semacam itu pantas dianugerahi gelar pahlawan nasional?

Teladan apa yang hendak diwariskan kepada generasi bangsa dari sosoknya? Rencana mengakuinya sebagai pahlawan nasional hanya akan membuka kembali luka yang sangat dalam. Menulis sejarah yang kelam dengan tinta berwarna terang benderang. Mengabaikan penderitaan para keluarga korban yang telah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya.

Sekarang aku mengerti mengapa ibu marah ketika aku bertanya tentang Kakek. Menyebut namanya saja, ibu langsung tolak pinggang.

Menurutku wajar, apabila seorang cucu membanggakan kakeknya yang seorang pejuang kemerdekaan. Tetapi ibu selalu memasang wajah masam saatku membanggakan sosok Kakek di depan teman-teman. Padahal ibu adalah anaknya sendiri.

"Bu, apa betul kata ayah zaman dulu Kakek pernah berperang melawan Belanda?"

Waktu itu ibu yang baru pulang dari pasar tidak langsung menanggapi. Ibu hanya membereskan barang belanjaan ke dapur.

"Bu, betul tidak?" Kataku sekali lagi sambil merengek.

"Gak usah ngomongin Kakek! Gak penting," jawab ibu dengan ketus.

"Kenapa gak penting, Bu?"

"Orang yang sudah meninggal gak perlu diomongin lagi! Gak ada hubungannya sama kita yang masih hidup."

"Kan kalau betul, kita bangga punya Kakek yang seorang pejuang."

"Kalau mau berbangga hati, sekolah yang bener. Nanti setelah lulus sekolah, kerja cari duit yang banyak!"

"Ah ibu."

"Ngeyel dibilangin. Pergi sana! Main di luar!"

Oleh sebab itu, teman-temanku di masa kecil selalu menganggapku berbohong. Pernah sekali waktu, Hengki, temanku masa kecil secara terang-terangan mengatakan bahwa Kakekku seorang perampok di depan teman-teman. Seketika hatiku sangat hancur.

Aku memang iri dengan Hengki. Dia berasal dari keluarga militer. Dari kakeknya, pamannya, ayahnya, sampai abang-abangnya seorang tentara. Dia selalu bangga dan mendominasi saat menceritakan kisah keluarganya itu.

Tidak puas Kakekku dibilang rampok, kuhajar dia. Aku pulang dengan wajah sedih dan mengurung diri di kamar. 

Mengetahui aku mengurung diri di kamar, ibu masuk ke kamarku. Duduk di samping kasurku. Seingatku waktu itu, Ibu berubah menjadi perempuan yang paling lembut. 

"Kenapa, nak?" Tanya ibu sambil mengelus-elus kepalaku.

"Hengki, bilang Kakek itu perampok."

"Tidak penting siapa Kakek yang sebenarnya," ucap ibu "Apa pun pendapat orang tentang Kakek, tidak akan mengubah siapa dirimu hari ini."

Aku pernah berharap Kakek datang langsung ke mimpiku. Menceritakan kisahnya sendiri. Semua kisah kepahlawanannya di zaman perang melawan Belanda. Tetapi mimpi itu gila. Mimpi itu mustahil terjadi. Jadi tidak ada gunanya berharap pada sesuatu yang mustahil terjadi.

Pada akhirnya, aku mulai berhenti memikirkan semua tentang Kakek. Membuang seluruh ingatanku tentang kisah kepahlawanan Kakek di zaman perang. Benar kata ibu, orang yang sudah meninggal tidak ada hubungannya lagi dengan kita yang masih hidup. Jadi lebih baik dilupakan saja.

Semenjak itu, aku tumbuh menjadi sosok anak yang ambisius. Seorang anak yang hanya fokus pada dirinya sendiri. Tidak punya suatu yang dapat dibanggakan, kecuali pencapaian diri sendiri. Aku percaya kalau bangsa ini tidak maju, disebabkan karena terlalu membangga-banggakan kejayaan di masa lalu. Bangsa ini hanya akan maju kalau terus berproses dan fokus pada pencapaian di masa mendatang. Bukannya percaya dengan dongeng di masa lalu.

Jadilah aku seorang anak yang membenci sejarah bangsanya sendiri. Aku juga membenci semua pelajaran sejarah di sekolah. Sejak masuk jenjang SMA, bagiku mata pelajaran sejarah merupakan mata pelajaran paling tidak berguna. Karena kemajuan sebuah bangsa tidak dilihat dari sejarahnya, tetapi bagaimana masyarakatnya berproses.

Belum lama ini, pelajaran sejarah di sekolah kembali menghubungkan diriku dengan cerita Kakek. Guru pelajaranku meminta murid-murid membuat story telling tentang tokoh-tokoh perjuangan termasuk di zaman agresi militer Belanda. 

Aku kembali kepikiran dengan Kakek. Bagaimana bisa setelah perang berakhir dan hingga di akhir hayatnya, Kakek memilih menjadi perampok?

Teman-temanku di kelas banyak memilih tokoh-tokoh pejuang yang mempunyai nama besar sebagai bahan pembelajaran. Tokoh-tokoh tersebut, seperti Jendral Soedirman, Bung Tomo, Oerip Soemohardjo, KH. Mas Mansyur, Ir. Soekarno, dan lainnya. Haruskah aku mengikuti mereka, karena sekadar menuntaskan kewajiban mengerjakan tugas sekolah. Tetapi hati nuraniku berkata lain, ingin sekali kuceritakan kisah Kakek.

Apakah adil melupakan peran orang-orang kecil dalam perjuangan bangsa, seperti Kakek? Walaupun tidak besar peran yang dilakukan, tetapi mengabaikan jasa-jasa dari orang-orang kecil menurutku sama saja berkhianat terhadap perjuangan. Aku memutuskan menceritakan kisah Kakek sebagai tugas sekolah.

Keputusan ini kuambil berkat bimbingan guru pelajaranku. Dia sungguh-sungguh membimbingku sebagai seorang manusia yang utuh. Sebab tidak mudah meyakinkanku untuk menceritakan kisah Kakek. 

Karena guruku tidak memandangku sebagai kumpulan orang yang harus dibenahi, diperbaiki, atau diluruskan. Tetapi dia memandangku sebagai anak manusia yang mempunyai nama, rasa, dan sejarahnya sendiri. Jadi ketika kuberitahu ideku, dialah orang yang tidak menghakimi apa yang akan kukerjakan.

Menurutku dia sosok guru sejati. Aku pun pernah membuktikan. Saat kukatakan pelajaran sejarah tidak berguna. Dia tidak langsung menghakimiku sebagai anak nakal. Dia malah tertarik mendengar alasan mengapa aku bisa berkata demikian. 

Dengan sabar dia mendengarkanku. Hingga mengetahui aku cucu dari Kusni Kasdut. Dia berkata, "Tugas ilmu sejarah bukan untuk mengadili seseorang. Bukan juga menjadikan seseorang sebagai pahlawan. Karena tugas ilmu sejarah ya untuk menjelaskan kejadian di masa lalu. Masyarakatlah yang menilai benar atau salah, pantas atau tidak."

Dan atas bimbingan guruku, kuberanikan diri menceritakan kisah Kakek sebagai tugas story telling. Aku lakukan bukan agar aku dihormati karena aku cucu seorang pejuang. Tetapi kulakukan untuk berdamai dengan pengalamanku di masa kecil. Juga untuk Kakekku, dia pantas mendapat kehormatan sebagai pejuang setidaknya dikenang oleh cucunya sendiri.

Maka aku butuh menulis naskah untuk kuceritakan sebagai story telling. Tidak sulit mencari sepenggal kisah tentang Kakek di internet. Banyak artikel yang menulis kisah Kakekku dengan judul ,"Perampok Legendaris" atau "Penjahat Legendaris". 

Buku-buku yang masih berkaitan dengan Kakek juga dapat kukumpulkan. Beberapa judul buku, seperti Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981), Kusni: Perjalanan Hidup Kusni Kasdut (1980), dan Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Kejahatan Politik dan Kejahatan (2000). 

Sumber dari pencarianku yang terakhir adalah ibuku sendiri. Dialah sumber informasi yang paling kubutuhkan di antara sumber-sumber yang lain. Dan yang terpenting adalah rida dari ibuku. Karena rida dari ibukulah yang akan memberiku kemudahan untuk menulis cerita tentang Kakek.

Memang tidak mudah mewawancarai ibu kalau berkaitan dengan Kakek. Ibu masih tetap pada pendiriannya. Dia langsung tolak pinggang dan menyatakan ketidaksetujuannya ketika kuutarakan maksudku.

"Bu, aku mohon! Aku minta untuk mengerjakan tugas sejarah di sekolah!" Kataku "Bukan untuk yang lain."

"Buat apa sekolah tahu cerita Kakekmu?" Tanyanya dengan ketus "Nggak penting. Buat saja cerita pahlawan yang lain!"

"Bu, kita harus berdamai dengan masa lalu Kakek!" Balasku tanpa maksud menggurui "Biar kita bahagia, Bu. Hanya dengan berdamai dengan masa lalu Kakek, kita dapat bahagia. Biar juga Kakek tenang dan itu tidak cukup didoakan saja. Tetapi setidaknya keluarganya sendiri mengakui perjuangan Kakek di zaman perang."

"Kalau itu maumu, buatlah yang bagus untuk Kakekmu. Ibu tetap gak bisa kasih keterangan apa-apa tentang Kakek," jawab ibu "Tapi cobalah hubungi teman-teman Kakek di Surabaya. Ibu masih simpan nomor telepon keluarga teman-teman Kakek sesama veteran. Mereka akan membantumu memberi keterangan tentang Kakek."

Ibu memberiku beberapa nomor telepon. Aku menghubungi beberapa keluarga teman Kakek sesama veteran. Aku sangat bersyukur beberapa dari mereka masih bisa dihubungi. Mereka sangat membantuku melengkapi keterangan tentang perjuangan Kakek. Meski informasi yang mereka berikan tidak jauh berbeda dengan di buku dan di internet, tetapi setidaknya aku sudah memvalidasi informasi yang ada.

Pada akhirnya aku berhasil merampungkan naskah cerita Kakek. 

***

Tibalah hari di mana aku akan menampilkan hasil pekerjaanku. Di jam sekolah akan kuceritakan kisah Kakek. 

Aku duduk dengan gelisah. Menunggu dengan menyaksikan penampilan teman-temanku yang lebih dulu mendapat giliran maju. Aku bersiap dan mendapat giliran maju di akhir.

Memang agak gugup saat giliranku tampil di depan. Aku sertakan membawa foto Kakek berukuran enam kali delapan dan meletakkannya di meja depan. 

Teman-temanku menatap dengan dalam-dalam. Tidak ada satu pun yang berbicara. Akan kuusahakan yang terbaik. Naskah itu mulai kubacakan dan begini isinya, "Kakek Seorang Pejuang.

Ignatius Waluyo, lahir di Blitar, Desember 1929. Orang-orang mengenalnya Kusni Kasdut. Tetapi aku memanggilnya Kakek.

Di zaman perang kemerdekaan, orang-orang menjulukinya dengan sebutan Kancil. Lincah, licin, dan gesit. Meski beberapa kali pernah ditangkap Belanda, ia selalu bisa meloloskan diri.

Kakek terlahir dengan keadaan serba kekurangan. Dilahirkan oleh pasangan petani bernama Wonomejo dan Mbok Cilik di Tulungagung, Jawa Timur. Namun ayahnya wafat sejak Kakek berumur lima tahun dan kemudian tinggal bersama ibunya dengan hidup yang sangat miskin. Tumbuhlah Kakek sebagai pemuda miskin tanpa sosok ayah.

Di masa kecilnya, Kakek habiskan dengan berdagang asongan. Tak malu menjajakan rokok dan permen kepada penumpang-penumpang bis yang berdatangan. Dari bis-bis kota di terminal kota Malang. Kakek dan ibunya tinggal di daerah miskin Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, Kakek yang masih muda ikut bergabung dengan Heiho sebagai tentara pembantu. Kakek berdinas di Batalion Matsamura, Kota Malang. Kakek juga sempat belajar sampai kelas dua di Sekolah Teknik.

Di zaman perang kemerdekaan Kakek ikut berjuang dengan laskar rakyat di daerah Rampal, Malang, 19 Agustus 1945. Kakek bergabung dengan Tentara Pelajar pimpinan Mas Isman. Kakek bersama kelompoknya bergerilya hingga ke Surabaya. Kakek ikut bertempur melawan Inggris dan sekutu sampai akhirnya Inggris mundur.

Kakek juga sempat berpindah-pindah laskar. Kakek pernah bergabung dengan laskar Bambu Runcing di Yogyakarta. Di Madiun, Kakek menetap di laskar Brigade Teratai. Laskar inilah yang terdiri dari orang-orang dari dunia hitam, seperti pencopet, perampok, bahkan pelacur.

Kakek sendiri mempunyai posisi sebagai staf pertempuran ekonomi. Yakni, tugasnya mengambil harta milik warga keturunan Tionghoa yang akan digunakan sebagai modal perang. Meski tugasnya merampok, Kakek cukup puas dengan pekerjaannya. Dengan peran itu, Kakek mempunyai kebanggaan tersendiri. Karena telah ikut membantu jalannya perjuangan. 

Coba bayangkan, ketika para prajurit sedang bertempur siapa yang memikirkan modal untuk kebutuhan membeli bahan pangan mereka? Siapa yang menyediakan senjata-senjata untuk mereka gunakan dalam bertempur? Kalau tidak ada orang-orang, seperti Kakek, para pejuang kita akan sangat kesulitan dan menderita.

Misalnya waktu Kakek berada di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948. Kakek menemukan meriam tentara Belanda. Bersama warga, Kakek bersusah payah mendorong meriam itu yang jaraknya hingga 20 kilometer. Untuk kemudian diberikan kepada kelompok prajurit yang akan digunakan melawan Belanda.

Bertugas, seperti itu bukan berarti tanpa ada resiko. Berkali-kali Kakek dikejar lalu ditangkap Belanda karena dicurigai sebagai mata-mata.

Ya, pernah penyamaran Kakek diungkap Belanda. Kakek ditahan dan disiksa sebagai tawanan perang. Tetapi Kakek bisa meloloskan diri, walau akhirnya juga pernah ditembak kakinya. Dan membuatnya jadi pincang. Bagi Kakek semua itu tidak masalah. Perjuangannya semata-mata dilakukan demi menegakkan kemerdekaan Indonesia.

Seusai perang kemerdekaan berakhir, Kakek ingin bergabung dengan Angkatan Bersenjata atau ABRI. Namun ditolak karena cacat pada kaki Kakek. Padahal cacat itulah yang diterimanya saat berjuang demi negara. Selain itu menurut pemerintah, Kakek tidak tercatat dalam laskar yang pro dengan kubu republik. Kakek menjadi korban kebijakan pemerintah yang membuat rasionalisasi angkatan bersenjata.

Hidup Kakek telah berubah. Satu tahun di Rampal, Kakek habiskan untuk mengurusi surat sebagai bekas pejuang. Di Rampal juga, Kakek mencari uang. Uang yang dikumpulkan dan tak seberapa itu dibagikan kepada keluarga di Blitar.

Uang yang masih tersisa digunakan Kakek untuk bekal berangkat ke kantor Biro Rekonstruksi Nasional di Jakarta. Tujuannya agar mendapat pekerjaan sebagai bekas pejuang. Dan Kakek kecewa tidak mendapati satu pun pekerjaan.

Tahun-tahun berikutnya Kakek membentuk kelompok perampok dengan anggota-anggotanya yang sesama bekas pejuang. Beberapa kali juga Kakek pernah ditangkap, tapi selalu bisa melarikan diri. 

Kata teman-teman Kakek, hasil rampasan selalu dibagi rata. Juga tidak lupa membagikan kepada orang-orang miskin di daerahnya. Hingga Kakek mendapat julukan baru, yaitu Robin Hood.

Perampokan yang paling terkenalnya dilakukan di Museum Nasional, Jakarta, pada 31 Mei 1961. Namun aksinya yang terakhir itu membuat Kakek ditangkap. Kemahiran Kakek di zaman perang dalam melarikan diri masih digunakannya. Terhitung sudah delapan kali Kakek mencoba melarikan diri. Kemudian Kakek divonis hukuman mati pada 1696. 

Terakhir kalinya, Kakek melarikan diri, pada 10 September 1979. Dan lagi-lagi tertangkap pada 17 Oktober 1979. Kakek pernah mengajukan grasi kepada presiden. Namun terbitnya Surat Keputusan Presiden No. 32/G/1979 tertanggal 10 November 1979, Presiden Soeharto menolaknya. Kakek berserah diri dan bertaubat. Kakek meninggal dengan damai di tangan regu tembak pada 16 Februari 1980. 

Mungkin kalau hari ini Kakek masih hidup, ia tidak akan meminta gelar pahlawan nasional. Mungkin juga sungkan, apabila namanya diabadikan sebagai nama jalan. Kemerdekaan baginya, berarti kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan seluruhnya. Adil dan merata. Tempat yang cerah bagi bertumbuhnya generasi bangsa. Di mana tidak ada lagi rakyat yang punya alasan untuk jadi perampok. Selesai."

Aku telah menyelesaikan tugasku. Sungguh sesuatu yang mengharukan bagiku. Kulihat teman-teman masih terdiam. Lalu tak lama kemudian, tepuk tangan meriah menyambutku dari teman-teman dan guru. Rasanya lega. Bebas. Aku sudah berdamai dengan masa laluku sendiri.

Tak ada luka yang bisa sembuh dengan sendirinya. Luka di masa laluku tidak terobati dengan waktu. Kusembuhkan dengan keberanian, dengan menghadapinya langsung, dan dengan menerima rasa sakitnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhamad Abi Fadila

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Fiksi

img-content

Fragmen

Sabtu, 7 Juni 2025 15:29 WIB

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

Lihat semua